Ketika: Saat Cinta Bersilangan
Judul buku: Ketika: Saat cinta
bersilangan
Penulis: Aiman Bagea
Tebal dan jumlah halaman: 13x19
cm , 302 hlm
Penerbit: Bukune
Cetakan dan tahun terbit: Cetakan
III, 2012
Sampul Belakang:
Hidup hanyalah abu-abu sebelum
aku bertemu denganmu. aku lupa cara mengeja tawa, dan aku lupa bagaimana cara
berharap. Juga lupa bagaimana cara mencinta.
Ketika bertemu denganmu, tak
kurasakan lagi ruang kosong dalam jiwaku. Bersamamu, waktu terasa berjalan
cepat. Masih kuingat di antara sepoi angin pantai pada senja yang menua, kau
katakan kau menyayangiku dan hatimu hanyalah untukku. Aku percaya….
Jika saja kita bisa memiliki satu
hari lagi seperti ini, jika kita bisa mengulang waktu, aku akan mempertaruhkan
semua cinta yang kumiliki. Aku pun akan mempertaruhkan setiap helai rasa
percaya yang ada untukmu.
*selanjutnya tak
terbaca akibat tertutup barcode
khusus perpustakaan*
***
Cinta segitiga. Pilihan berat
antara cinta atau persahabatan. Keduanya teramat lazim didapati di pelbagai
kisah cinta dalam novel-novel romance,
termasuk buku ini. Dibuka dengan prolog yang memiliki gaya bahasa yang sedikit
puitis, novel ini berhasil menyuguhkan awal yang manis.
Kisah cinta ini bermula saat
seorang Naira yang merupakan pelukis independent
bertemu dengan Aji, seorang mahasiswa ko-ass kedokteran yang juga penikmat seni
lukis, di sebuah pameran lukisan. Seminggu kemudian Nai ditakdirkan bertemu
kembali dengan Aji di event yang sama, hanya saja hatinya yang telah berubah:
ada benih cinta yang bercokol di sana.
Sementara itu, Nai memiliki
sahabat karib bernama Diba yang juga sedang terkena virus cinta. Kepada Nai,
Diba mengaku merasakan love at first
sight dengan pemuda bernama Rul yang ia jumpai di kampus. Keduanya belum
sempat sama sekali untuk mengenalkan pujaan hatinya masing-masing hingga pada
akhirnya terkuaklah suatu kenyataan pahit: mereka berdua mencintai orang yang
sama.
Dipandu dengan gaya penceritaan
yang mengalir pelan dengan detail-detailnya membuat novel ini menjadi bacaan
yang ringan. Meski begitu, diksinya yang agak puitis ini mampu memberi
ukiran-ukiran keindahan bahasa sehingga terciptalah bacaan yang ringan dengan
kemasan sentuhan pujangga.
Hal berikut bisa kita temukan di
bagian prolog:
Cinta pernah datang mengendap-endap dalam kehidupanku. Lalu, pada detak-detak yang tak aku ketahui sebelumnya, cinta menyergapku dengan sepasang sayapnya yang lembut bagai serpihan awan di langit. Awalnya, aku mengelak bahwa cinta bukan begini. Tetapi, semakin aku mengelak, cinta kian erat mendekapku. Melumpuhkanku. Membungkamku. Dan… menyihirku.
Cinta tak akan pernah mengumumkan kedatangannya. Cinta begitu saja menyusup, mengelus-elus sesuatu yang lembut di liang hati, memendar sekian lama, sampai akhirnya membaur bersama hati dalam bilangan waktu yang tak terkatakan. Cinta itu masih di sini, di hati, sampai nanti dan untuk selama-lamanya. Pada seorang pria yang telah membawaku menapaki cinta untuk kali pertama…
Sayangnya, terlalu banyak
ungkapan-ungkapan di cerita selanjutnya. Diksi seperti itu memang bagus digunakan
sebagai pemanis cerita. Namun bila terlalu berlebihan sampai ke bab-bab
selanjutnya bahkan dialog para tokoh, hal itu dapat memberi efek samping
kebosanan bagi pembaca non-penggemar kata mutiara.
Secara penokohan, novel ini tidak
memberikan gambaran karakter yang amat mendasar, biasa saja. Alur yang dipakai
juga tidak terlalu rumit, sehingga tidak akan terjadi jumping bab. Penggambaran setting sudah lumayan bagus dan tema yang
disinggung sudah mengena.
Meski saya kurang suka dengan
berhamburnya gaya-bahasa-ala-kata-mutiara-nya, entah mengapa saya senang dengan
kesan si penulis menggiring pembaca ke akhir cerita. Walau banyak bagian yang
mudah ditebak sedari awal, penulis mampu menutup kisah ini secara perlahan
dengan sedikit kejutan.
Overall, sebagai karya pertama Aiman
Bagea, saya ucapkan: we wait your next
upcoming publishing!
Rating:
Komentar
Posting Komentar
When you leave a footstep, you've connected our link :)){}