[Review Buku]: Tsunami!


Judul buku: Tsunami!
Penulis: Corien Oranje
Alih bahasa: Indira Ismail
Ukuran dan jumlah halaman: 20 cm , 168 hal
Penerbit: Gramedia
Cetakan dan tahun terbit: Cetakan I, 2009
***

Sampul Belakang:
Dewi menoleh ke sungai. Rasa kaget yang luar biasa menyergapnya. Gelombang air yang sangat tinggi datang dari kejauhan. Seperti dinding air yang bergerak maju dengan cepat menuju ke arahnya. Ia berlari tergopoh-gopoh menghampiri Nova, menggendong adiknya, kemudian berlari di jalan kampung. “Bapak!” teriaknya. “Bapak! Laut! Laut naik!”

TSUNAMI! Adalah kisah perjuangan seorang remaja mengatasi dampak bencana yang memorak-porandakan kotanya, Banda Aceh, dan mencerai-beraikan keluarganya. Betapa Dewi berharap ia dapat memutar balik waktu dan menjalani hidupnya yang membosankan: pergi ke sekolah, membantu Ibu, makan dan tidur. Seandainya ia bisa terbangun dari mimpi buruk yang mengerikan ini…
***

Kita semua tidak pernah mengharapkan musibah terjadi tanpa permisi, bukan? Semua orang pasti punya rencana untuk masa depan, entah dalam jangka waktu panjang maupun pendek. Namun sekali Tuhan berkehendak seolah menjentikkan kelingking, kita sebagai manusia ciptaan-Nya pastilah tak kan mampu berbuat apa-apa.

Dewi, gadis Aceh yang masih duduk di bangku kelas 1 SMP menganggap kehidupannya serba biasa saja. Bersekolah, membantu ibu berjualan di toko kelontong rumahnya, mengasuh adik kecilnya Nova, atau terkadang ia menghabiskan waktu di rumah Yensi sahabatnya di Lepung. Tapi Dewi sebenarnya sama saja seperti kita, meski hidup terasa membosankan, ia tak akan pernah meminta untuk diberi keadaan yang lebih buruk dari yang ia punyai sekarang.

Tepat di hari bersejarah itu, Dewi tak mempunyai firasat apapun. Hari dimana bapaknya telah pulang dari aktivitas melautnya dan sedang beristirahat di rumah sementara Ibu bersama Erna, adiknya yang lain pamit pergi ke pasar, tampak normal pada umumnya. Namun tak lagi saat televisi yang ditontonnya menampilkan acara kartun Tom&Jerry tiba-tiba mati. Begitu juga kulkas, kipas angin serta barang elektronik lainnya yang menandakan listrik terputus. Lalu guncangan yang disusul suara bergemuruh membuat banyak perabotan rumahnya tersungkur berantakan.

Sebelum sempat mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, dari luar terdengar teriakan orang-orang, “Gempa! Gempa!” Bapak dengan sigap menggendong Nova dan menarik Dewi pergi menjauhi rumah. Belum sempat semua orang mencari tempat perlindungan, datang gelombang yang menyapu daratan itu dalam sekejap. Bergulung kembali dan terus menerus, menghempaskan ribuan orang yang berlarian menyelamatkan diri. Dewi pun akhirnya terpisah dari bapak yang membawa Nova bersamanya.

Hidup terombang-ambing di lautan mengharuskan Dewi untuk tetap kuat dalam bertahan hidup sampai akhirnya ia ditolong oleh orang-orang yang selamat. Kemudian ia berpindah-pindah tempat pengungsian mulai dari Masjid yang konon tak tersentuh gelombang air sepercik pun hingga hidup di tenda pengungsian. Awalnya ia bertemu dengan Yensi yang bersama kakaknya Agus, kemudian dengan usaha ekstra pun kemudian ia bisa menemukan Bapak tanpa Nova. Sedih langsung menggenangi hatinya betapa ia sungguh menyayangi adik kecilnya dan Nova masih membayang-bayangi di pelupuk mata.


Di situlah tempat aman berlindung Dewi dari Tsunami

Dari sudut pandang Dewi, kita bisa membayangkan betapa susahnya bertahan hidup bersama banyak orang yang tersisa dengan bahan pokok seadanya. Relawan-relawan asing maupun domestik banyak didatangkan untuk membantu. Bau mayat-mayat yang belum terkubur menguarkan aroma busuk. Kehidupan yang merana beberapa bulan lamanya.

Sejak mengenal Lexie, Dewi pun mulai meraba masa depannya kembali. Lexie merupakan relawan asing yang perhatian dengan anak-anak dan berusaha untuk melepaskan trauma yang menggelayuti mereka. Berkat usaha Lexie, Dewi pun mulai memikirkan hidup baru. Hidup yang benar-benar baru.

Novel ini merupakan terjemahan dari buku aslinya yang berjudul de Dag van de Golven / The Day of the Waves dan diterbitkan di Belanda. Membaca buku ini bagaikan membaca karangan orang pribumi karena penulis sangat lihai menuliskan sisi human interest dan tradisi orang setempat. Bagaimana ia menggambarkan suasana belajar mengajar di kelas, keindahan alam dan kehidupan orang-orang Aceh.

Dengan gaya bertutur yang meremaja, novel ini sengaja ditulis bukan untuk membuat pembaca larut merenungi peristiwa atau harus menangis terisak oleh nasib yang dialami korban tsunami. Kita digiring untuk ikut merasakan dan membayangkan bagaimana rasanya jadi orang seusia Dewi, dari hidup yang biasa-biasa saja tiba-tiba harus dijungkirbalikkan dengan keadaan seperti itu. Dewi yang masih bertanya-tanya mengapa Tuhan melakukan ini semua. Dewi yang harus bisa berkompromi dengan segala hal dalam segala keterbatasan kondisi.

Plot cerita ini tertata rapi, dengan rentetan peristiwa yang muncul teratur. Buku ini ringan dibaca dari segi isi maupun jumlah halamannya. Buku yang sengaja dibikin untuk membasahi hati para remaja, betapa beruntungnya hidup kalian yang tidak seperti mereka.. maka bersyukurlah. :)

Rating:

Komentar

Postingan Populer